Jumat, 20 Mei 2011

ARTIKEL PENELITIAN KU,,, ^_^

PENGEMBANGAN INSTRUMEN EVALUASI DIRI
PENGUASAAN TEKNIK DASAR KOMUNIKASI DALAM KONSELING PADA MAHASISWA
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
UNIVERSITAS NEGERI MALANG


Abstrak : Konseling adalah proses pemberian bantuan yang bersifat profesional sehingga perlu dilakukan berlandaskan pada teknik dasar komunikasi tertentu. Dalam praktiknya, banyak konselor yang belum terampil melaksanakan teknik dasar komunikasi dalam konseling dengan baik. Akibatnya, banyak konseling di lapangan yang tidak efektif. Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengembangkan sebuah instrumen evaluasi diri untuk membantu mengukur tingkat penguasaan teknik dasar komunikasi dalam konseling bagi mahasiswa program studi Bimbingan dan Konseling di Universitas Negeri Malang. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian pengembangan yang diadaptasi dari Borg and Gall (1983) dan Sukmadinata (2008). Populasi penelitian adalah mahasiswa program studi Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Malang angkatan 2004, 2005, 2006, 2007, dan 2008 dengan sampel peneilitian diambil secara simple random sampling sebanyak 50 orang. Pengumpulan data dilakukan menggunakan angket penilaian. Analisis data dilakukan dengan teknik statistika deskriptif, uji validitas, dan uji reliabilitas. Dari tabel correlation dapat diketahui bahwa semua item pernyataan adalah valid karena nilai pearson correlation untuk masing-masing item pernyataan bernilai lebih dari r tabel yaitu r 49(0.05) = 0.282. Dari tabel reliability statistic dapat diketahui bahwa nilai cronbach alpha untuk semua kategori adalah lebih dari 0,6. Dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian menunjukkan bahwa instrumen evaluasi diri penguasaan teknik dasar komunikasi dalam konseling ini memiliki tingkat ketepatan, kegunaan, dan kemudahan yang memadai.
Kata kunci : instrumen, teknik komunikasi, konseling.

UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menyebutkan bahwa keberadaan konselor dalam sistem pendidikan nasional dinyatakan sebagai salah satu kualifikasi pendidik, sejajar dengan kualifikasi guru, dosen, pamong belajar, tutor, widyaiswara, fasilitator, dan instruktur. Masing-masing kualifikasi pendidik, termasuk konselor, memiliki keunikan konteks tugas dan ekspektasi kinerja.
Konteks tugas konselor dalam lembaga pendidikan formal dan nonformal adalah sebagai pengampu pelayanan ahli bimbingan dan konseling, yaitu “kawasan pelayanan yang bertujuan untuk memandirikan individu dalam menavigasi perjalanan hidupnya melalui pengambilan keputusan tentang pendidikan termasuk yang terkait dengan keperluan untuk memilih, meraih serta mempertahankan karir untuk mewujudkan kehidupan yang produktif dan sejahtera, serta untuk menjadi warga masyarakat yang peduli kemaslahatan umum melalui pendidikan” (ABKIN, 2005).
Model bimbingan dan konseling yang dianut di Indonesia saat ini adalah model bimbingan dan konseling komprehensif, yang terdiri dari layanan dasar, layanan perencanaan individual, layanan responsif, dan dukungan sistem. Model seperti ini bertujuan untuk mengarahkan individu supaya dapat menerima diri, memahami diri, dan mengembangkan diri ke arah yang positif.
Dari keempat jenis layanan dalam bimbingan dan konseling komprehensif, layanan konseling merupakan salah satu bagian dari layanan responsif yang harus diberikan kepada siswa secara profesional. Sebagai layanan responsif, layanan konseling diberikan kepada siswa untuk membantu siswa memenuhi kebutuhan dan memecahkan masalah yang dialaminya saat itu, berkenaan dengan masalah sosial-pribadi, karir, dan atau masalah pengembangan pendidikan.
Pengertian dari konseling adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh seorang konselor kepada satu atau lebih konseli, bersifat profesional, dilakukan secara kontinyu sampai tercapainya tujuan konseling yang telah ditetapkan, hubungan yang dibangun bersifat interpersonal, dan hasil dari proses pemberian bantuan ini sangat bergantung pada kualitas hubungan yang dibangun (Mappiare, 1992). Dapat ditarik kesimpulan, bahwa seorang konselor profesional hendaknya mampu mengembangkan sikap, kompetensi, dan keterampilan dasar untuk bisa melaksanakan konseling dengan baik.
Kompetensi paling mendasar yang harus dimiliki oleh konselor dalam melaksanakan konseling adalah kompetensi intelektual yang harus dikembangkan baik di dalam maupun di luar sesi konseling. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Arthur J. Jones, dkk dalam Mappiare (1992 : 110) “the counselor’s skills are built upon a through knowledge of human behavior, percetive mind, and ability to integrated present event with training and experience”.
Kutipan tersebut menjelaskan bahwa keterampilan-keterampilan konselor dilandasi oleh pengetahuan mengenai tingkah laku manusia, pemikiran yang cerdas, dan kemampuan mengintegrasikan peristiwa yang dihadapi dengan pendidikan dan pengalamannya.
Banyak hal yang bisa dimasukkan ke dalam kompetensi intelektual konselor dalam melakukan konseling, salah satunya adalah kompetensi konselor dalam berkomunikasi. Hal ini berhubungan dengan salah satu karakteristik konseling yang menegaskan bahwa wawancara merupakan salah satu alat pengumpul data paling utama dalam konseling.
Oleh karena itu dalam melakukan wawancara selama konseling, diperlukan keterampilan komunikasi yang memadai dari seorang konselor. Keefektifan komunikasi dalam konseling merupakan kunci penting dari keberhasilan proses konseling.
Ironis dengan teori yang menyebutkan bahwa keterampilan dasar komunikasi termasuk sebagai landasan utama dalam melaksanakan konseling, fenomena yang ditemukan di lapangan justru sebaliknya. Menurut hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti pada saat kegiatan Praktik Pengalaman Lapangan II di SMK Negeri 5 Malang dari tanggal 30 Juli 2010 sampai dengan tanggal 15 Desember 2010, kegiatan konseling yang dilakukan di lapangan, baik oleh konselor maupun calon konselor, dalam hal ini adalah mahasiswa praktikan PPL, banyak mengesampingkan keterampilan dasar komunikasi, khususnya penggunaan teknik dasar komunikasi dalam konseling.
Hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Miranti Widi Andriani (2009) tentang Studi Pengunaan Teknik Dasar Komunikasi Konseling pada Konselor di SMP Negeri 2 Sukodono Kabupaten Lumajang menunjukkan bahwa dari keseluruhan teknik dasar komunikasi dalam konseling yang selalu digunakan hanyalah teknik opening, acceptance, lead, dan advice. Peran konselor dalam membantu konseli menyelesaikan masalah adalah memberikan alternatif pemecahan masalah serta menjelaskan resiko pada konseli. Konselor memberikan saran saat konseli akan mengambil keputusan. Konselor belum menerapkan bahwa pengambilan keputusan adalah peran konseli dalam konseling.
Sebagai akibatnya, konseling yang terjadi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Contohnya, konseling berakhir premature atau sebelum waktunya. Selain itu, bisa jadi konseling yang diselenggarakan bukanlah konseling yang memandirikan. Konseli menjadi ketagihan untuk datang pada konselor dan melakukan konseling, karena merasa dengan melakukan konseling semua masalah bisa teratasi dengan baik. Dengan demikian, konseling yang hendaknya bersifat memandirikan konseli, pada akhirnya justru membuat konseli menjadi pribadi yang bergantung pada pihak lain, dalam hal ini adalah konselor untuk menyelesaikan permasalahannya.
Konseling yang semula bertujuan untuk membantu konseli menjadi lebih dewasa dalam berbagai hal termasuk pengambilan keputusan, perubahan pribadi menjadi pribadi yang lebih positif, perubahan tingkah laku ke arah yang lebih positif, dan pemecahan masalah yang sedang dihadapi, pada akhirnya malah membuat konseli menjadi pribadi yang tidak mandiri, bahkan akan merugikan konseli sendiri untuk kehidupannya di masa yang akan datang.
Konselor dan calon konselor yang diharapkan bisa membantu siswa mencapai perkembangan yang optimal, justru akan membuat siswa sebagai konseli menjadi pribadi yang kurang matang. Permasalahan yang dihadapi oleh konseli pun belum tentu bisa dibantu penyelesaiannya secara optimal jika konselor dan calon konselor melakukan konseling tanpa memperhatikan penggunaan teknik dasar komunikasi.
Sebagai salah satu LPTK, Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Malang, dalam mempersiapkan tenaga konselor profesional, meletakkan satu matakuliah mayor yang membahas mengenai komunikasi dalam konseling, yaitu matakuliah Keterampilan Dasar Komunikasi. Matakuliah tersebut disajikan pada semester III untuk jenjang Sarjana dengan bobot 2 sks dan 4 js setiap minggunya.
Secara sederhana matakuliah Keterampilan Dasar Komunikasi memberikan materi tentang berbagai teknik dasar komunikasi yang dipergunakan dalam konseling. Matakuliah ini bertujuan untuk membentuk kemampuan mahasiswa sebagai calon konselor profesional dalam menerapkan teknik-teknik dasar komunikasi dalam konseling. Secara lebih luas, dengan adanya matakuliah ini mahasiswa diharapkan untuk dapat melaksanakan konseling dengan baik dengan memperhatikan penerapan teknik dasar komunikasi konseling, sehingga tujuan konseling bisa dicapai sebagaimana mestinya.
Sebagai salah satu matakuliah dasar untuk pelaksanaan konseling, pada dasarnya matakuliah keterampilan dasar komunikasi pada Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Malang telah diberikan seoptimal mungkin. Terbukti dari bukan hanya teori yang diberikan saat perkuliahan berlangsung, namun juga latihan-latihan nyata untuk merealisasikan teknik dasar komunikasi dalam konseling yang sesungguhnya.
Namun demikian, sebagaimana fenomena yang tergambar di atas, ternyata mahasiswa yang sudah menempuh dan lulus matakuliah keterampilan dasar komunikasi, serta konselor-konselor alumni Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Malang yang sudah terjun ke lapangan, masih banyak yang belum dapat mengaplikasikan teknik dasar komunikasi dalam konseling di kehidupan nyata.
Ketidaktahuan mahasiswa maupun konselor yang telah terjun ke lapangan akan tingkat penguasaan teknik dasar komunikasi dalam konseling, kurangnya pemahaman konselor dan calon konselor mengenai aspek-aspek yang spesifik dari masing-masing teknik dasar komunikasi dalam konseling, dan ketiadaan instrumen yang bisa mengukur tingkat penguasaan teknik dasar komunikasi dalam konseling untuk masing-masing personal sebagai instrumen evaluasi diri, merupakan penyebab ketidakmampuan konselor dan calon konselor mengaplikasikan teknik dasar komunikasi dalam konseling secara optimal. Berangkat dari gambaran tersebut di atas, perlu dikembangkan sebuah instrumen evaluasi diri yang berfungsi untuk mengukur tingkat penguasaan keterampilan dasar komunikasi dalam konseling bagi mahasiswa program studi Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Malang.

MODEL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
Penelitian dengan judul “Pengembangan Instrumen Evaluasi Diri Penguasaan Teknik Dasar Komunikasi dalam Konseling pada Mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Malang” ini menggunakan model penelitian pengembangan yang bersifat prosedural.
Adapun yang dimaksud dengan pengembangan yang bersifat prosedural adalah model pengembangan yang bersifat deskriptif, yakni menggariskan langkah-langkah yang harus diikuti untuk untuk menghasilkan produk (Saukah, 2000:37).

Populasi dan Sampel
Populasi penelitian adalah mahasiswa program studi Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Malang angkatan 2004, 2005, 2006, 2007, dan 2008 yang sudah mengikuti dan lulus matakuliah Keterampilan Dasar Komunikasi. Sampel penelitian diambil secara simple random sampling sebanyak 50 orang.

Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian digunakan sebagai alat dalam tahap identifikasi kebutuhan dalam penelitian pendahuluan. Identifikasi kebutuhan adalah tahap yang dilakukan oleh peneliti untuk mendapatkan data dari berbagai sumber sebagai data awal penelitian. Tujuan dilakukannya identifikasi kebutuhan adalah untuk mengetahui apakah pengembangan instrumen evaluasi diri penguasaan teknik dasar komunikasi dalam konseling pada mahasiswa ini diperlukan atau tidak. Dalam penelitian ini, instrumen yang digunakan ada tiga bentuk, tergantung pada masing-masing subjek identifikasi kebutuhan.
Identifikasi kebutuhan pada mahasiswa program studi Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Malang yang sudah mengikuti dan lulus matakuliah Keterampilan Dasar Komunikasi menggunakan instrumen penelitian berupa angket terbuka dan instrument refleksi diri.
Identifikasi kebutuhan pada konselor di lapangan dan praktikan PPL BK menggunakan instrumen penelitian berupa pedoman wawancara dan pedoman observasi. Identifikasi kebutuhan pada dosen pembimbing matakuliah Keterampilan Dasar Komunikasi program studi Bimbingan dan Konseling menggunakan instrumen penelitian berupa pedoman wawancara.

Rancangan Penelitian
Dengan menyesuaikan kondisi di lapangan, dalam mengembangkan instrumen pengukuran tingkat penguasaan teknik dasar komunikasi dalam konseling pada mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Malang ini, peneliti mengadaptasi strategi pengembangan Borg and Gall (1983) dikolaborasikan dengan strategi pengembangan menurut Sukmadinata (2008:189).
Peneliti dalam hal ini menggunakan strategi pengembangan sebagai berikut.
1. Tahap penelitian pendahuluan
Dalam tahap ini, kegiatan yang dilakukan oleh peneliti adalah analisis potensi dan masalah yang akan dijadikan sebagai pijakan penelitian pengembangan, studi literatur sehubungan dengan penelitian dan pengembangan, dan identifikasi kebutuhan (need assessment) pada mahasiswa program studi Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Malang yang sudah mengikuti dan lulus matakuliah Keterampilan Dasar Komunikasi, konselor di lapangan dan praktikan PPL BK, dan dosen pembimbing matakuliah Keterampilan Dasar Komunikasi program studi Bimbingan dan Konseling.
2. Tahap penyusunan produk awal
Tahap selanjutnya setelah penelitian pendahuluan adalah penyusunan produk awal yang kegiatannya mencakup pengembangan spesifikasi instrumen, penulisan butir pernyataan untuk pengembangan instrumen, penentuan pedoman penskoran, dan penelaahan pernyataan instrument oleh dosen pembimbing I dan dosen pembimbing II.
3. Tahap pengujian produk
Tahap pengujian produk merupakan langkah ketiga dalam penelitian. Pengujian produk dilakukan sebanyak tiga kali, yaitu uji coba ahli/ pakar (expert judgement), dilakukan oleh dua orang ahli instrumen. Ahli instrumen adalah seseorang yang berpengalaman dalam bidang pengembangan instrumen, khususnya pengembangan instrumen tentang konseling. Karakteristik untuk bisa menjadi ahli instrumen adalah berlatar belakang pendidikan minimal S2, dan telah memiliki pengalaman di bidang pengembangan instrumen selama lebih kurang lima tahun.
Uji coba kelompok kecil (small group try out) dilakukan pada mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling sebanyak 10 orang untuk menguji kelayakan instrumen pengembangan untuk diujikan secara luas. Pengujian dalam skala kelompok kecil ini secara spesifik digunakan untuk mengukur tingkat kemudahan dan kegunaan instrumen pengukuran jika digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Uji coba lapangan (field try out) dilakukan pada sekelompok besar mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Malang sejumlah 50 orang. Uji lapangan ini dilakukan untuk mengetahui tingkat validitas, reliabilitas, dan daya beda instrumen.
4. Tahap pengemasan produk akhir
Dalam tahapan ini yang dilakukan oleh peneliti adalah pengemasan produk akhir dalam bentuk instrumen dalam arti instrumen siap dipergunakan dalam keseharian untuk mendukung pelaksanaan pendidikan dalam program studi Bimbingan dan Konseling.

Teknik Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan menggunakan teknik statistika deskriptif untuk menganalisis pengumpulan data saat uji ahli (expert judgement) dan saat uji kelompok kecil (small group judgement). Analisis data yang lain dilakukan dengan bantuan program SPSS 16 For Windows meliputi uji validitas menggunakan teknik korelasi product moment dan uji reliabilitas menggunakan teknik alpha cronbach.

Hasil Penelitian
1. Penyajian Data Hasil Uji Ahli (Expert Judgement)
Uji ahli (expert judgement) penelitian ini dilakukan oleh dua orang ahli instrumen dalam bimbingan dan konseling. Berdasarkan pelaksanaan uji ahli (expert judgement) tersebut, peneliti memperoleh data dalam bentuk kualitatif dan kuantitatif. Tujuan dilakukannya uji ahli (expert judgement) ini adalah untuk mengetahui tingkat keterwakilan subvariabel oleh indikator, indikator oleh deskriptor, dan deskriptor oleh butir pernyataan dalam instrumen pengukuran ini. Data dikumpulkan menggunakan angket penilaian. Data yang bersifat kuantitatif dapat disajikan sebagai berikut.
a. Dari 36 butir indikator yang terdapat dalam instrumen pengukuran, 22 indikator dinyatakan baik dan tidak perlu revisi, 13 indikator dinyatakan cukup baik dan perlu dilakukan revisi sebagian, sedangkan 1 indikator lain dinyatakan tidak baik dan harus direvisi total atau dibuang.
b. Dari 97 butir deskriptor yang terdapat dalam instrumen pengukuran, 73 deskriptor dinyatakan baik dan tidak perlu revisi, 22 deskriptor dinyatakan cukup baik dan perlu dilakukan revisi sebagian, sedangkan 2 deskriptor lain dinyatakan tidak baik dan harus direvisi total atau dibuang.
c. Dari 305 butir pernyataan yang terdapat dalam instrumen pengukuran, 276 butir pernyataan dinyatakan baik dan tidak perlu revisi, serta 29 butir dinyatakan cukup baik dan perlu dilakukan revisi sebagian.
Penyajian data hasil uji ahli (expert judgement) yang berbentuk data kualitatif adalah sebagai berikut.
a. Tidak perlu diberikan poin khusus untuk pembedaan antara teknik ‘clarification’ dengan teknik ‘reflection of feeling’ karena jika keduanya sudah dilakukan sesuai dengan prosedur, tidak akan ada kerancuan antara dua teknik tersebut.
b. Perlu ditambahkan poin ‘minat dan motivasi untuk membantu’ dalam persiapan psikologis konselor.
c. Perlu ditambahkan poin ‘penataan ruang/ dekorasi’ dalam persiapan tempat konseling.
d. Perlu ditambahkan poin ‘kontak mata’ dalam attending.
e. Perlu ditambahkan ‘keterwakilan situasi’ dalam teknik clarification.
f. Perlu dikonsistenkan urutan penyusunan per indikator supaya sama antara teknik yang satu dengan teknik yang lain.
g. Perlu ditambahkan poin ‘mengucapkan salam’ dalam penciptaan hubungan baik.
h. Perlu dipertimbangkan tingkat kepantasan dan keperluan untuk merekam konseli secara visual, jika perlu poin ini dihilangkan.
i. Koreksi untuk tata cara penulisan dan istilah-istilah yang digunakan dalam teknik dasar komunikasi konseling.
j. Bisa disimpulkan bahwa secara kualitatif, pernyataan dalam instrumen sudah menunjukkan keterwakilan subvariabel oleh indikator, indikator oleh deskriptor, dan deskriptor oleh butir pernyataan, perlu dilakukan revisi di beberapa bagian seperti yang disarankan oleh validator.
2. Penyajian Data Hasil Uji Kelompok Kecil (Small Group Try Out)
Uji kelompok kecil (small group try out) dalam penelitian ini dilakukan oleh 10 orang mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Malang untuk mengetahui tingkat kemudahan dan kegunaan dari instrumen pengukuran yang dikembangkan. Data uji kelompok kecil dikumpulkan menggunakan angket penilaian. Data yang diperoleh dari uji kelompok kecil (small group try out) ini terdiri dari dua jenis data, yaitu data kuantitatif dan kualitatif.
Penyajian data kuantitatif dari uji kelompok kecil (small group try out) adalah sebagai berikut.
a. Instrumen dinyatakan sangat berguna untuk mengenali jenis-jenis keterampilan dalam keseluruhan teknik dasar komunikasi dalam konseling, membantu proses pemahaman mahasiswa mengenai teknik dasar komunikasi dalam konseling, mengukur tingkat penguasaan teknik dasar komunikasi dalam konseling bagi mahasiswa, dan untuk dijadikan alat evaluasi sejauh mana mahasiswa mampu menerapkan teknik dasar komunikasi dalam konseling.
b. Petunjuk pengisian instrumen dinyatakan sangat mudah.
c. Pernyataan dalam instrumen dinyatakan sangat mudah.
d. Pengisian pernyataan dalam instrumen dinyatakan mudah.
Dalam bentuk kualitatif, penyajian data hasil uji kelompok kecil adalah sebagai berikut.
a. Perlu dilakukan pengurangan item dalam pernyataan, supaya tidak terlalu banyak menyita waktu dan tenaga.
b. Perlu diteliti tata cara penulisan dan penomoran.
c. Pada saat melancarkan instrumen, perlu diperhatikan kondisi pengisi, supaya data yang diperoleh benar-benar valid.
3. Penyajian Data Hasil Uji Lapangan (Field Try Out)
Uji lapangan (field try out) dalam penelitian ini dilakukan pada 50 orang subyek terteliti sebagai sampel yang diambil secara acak, yaitu mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling dengan jabaran 1 orang mahasiswa angkatan 2004, 2 orang mahasiswa angkatan 2005, 5 orang mahasiswa angkatan 2006, 29 orang mahasiswa angkatan 2007, dan 13 orang mahasiswa angkatan 2008. Uji lapangan ini dilakukan untuk mengetahui tingkat validitas, reliabilitas, dan daya beda instrumen.
Dalam penghitungan validitas, reliabilitas, dan daya beda instrumen ini, peneliti membedakan variabel teknik dasar komunikasi dalam konseling ke dalam 16 kategori yaitu, prakonseling, opening, acceptance, restatement, reflection of feeling, clarification, structuring, sharing of experience, lead, reassurance, silent, rejection, advice, confrontation, summarization, dan termination.
a. Penghitungan Tingkat Validitas Instrumen
Dari tabel pearson correlation dapat diketahui bahwa semua item pertanyaan adalah valid karena nilai pearson correlation untuk masing-masing item pertanyaan bernilai lebih dari r tabel yaitu r 49(0.05) = 0.282. Cara lain yang untuk mengetahui item pertanyaan valid adalah dengan melihat nilai peluang (significant). Jika nilainya kurang dari alpha 0.05 maka item pertanyaan tersebut adalah valid.
b. Penghitungan Tingkat Reliabilitas Instrumen
Dalam meghitung tingkat reliabilitas instrumen, peneliti langsung membagi keseluruhan teknik dasar komunikasi konseling ke dalam 16 kategori dengan hasil terjabar sebagai berikut.
1) Semua item pernyataan untuk kategori pra konseling dinyatakan reliabel karena nilai cronbach alpha pada tabel reliability statistic adalah sebesar 0.815 dan syarat untuk reliabel adalah lebih dari 0.6.
2) Semua item pernyataan untuk kategori opening dinyatakan reliabel karena nilai cronbach alpha pada tabel reliability statistic adalah sebesar 0.948 dan syarat untuk reliabel adalah lebih dari 0.6.
3) Semua item pernyataan untuk kategori acceptance dinyatakan reliabel karena nilai cronbach alpha pada tabel reliability statistic adalah sebesar 0.875 dan syarat untuk reliabel adalah lebih dari 0.6.
4) Semua item pernyataan untuk kategori acceptance dinyatakan reliabel karena nilai cronbach alpha pada tabel reliability statistic adalah sebesar 0.850 dan syarat untuk reliabel adalah lebih dari 0.6.
5) Semua item pernyataan untuk kategori reflection of feeling dinyatakan reliabel karena nilai cronbach alpha pada tabel reliability statistic adalah sebesar 0.864 dan syarat untuk reliabel adalah lebih dari 0.6.
6) Semua item pernyataan untuk kategori clarification dinyatakan reliabel karena nilai cronbach alpha pada tabel reliability statistic adalah sebesar 0.861 dan syarat untuk reliabel adalah lebih dari 0.6.
7) Semua item pernyataan untuk kategori structuring dinyatakan reliabel karena nilai cronbach alpha pada tabel reliability statistic adalah sebesar 0.927 dan syarat untuk reliabel adalah lebih dari 0.6.
8) Semua item pernyataan untuk kategori sharing of experience dinyatakan reliabel karena nilai cronbach alpha pada tabel reliability statistic adalah sebesar 0.841 dan syarat untuk reliabel adalah lebih dari 0.6.
9) Semua item pernyataan untuk kategori lead/ questioning dinyatakan reliabel karena nilai cronbach alpha pada tabel reliability statistic adalah sebesar 0.708 dan syarat untuk reliabel adalah lebih dari 0.6.
10) Semua item pernyataan untuk kategori reassurance dinyatakan reliabel karena nilai cronbach alpha pada tabel reliability statistic adalah sebesar 0.875 dan syarat untuk reliabel adalah lebih dari 0.6.
11) Semua item pernyataan untuk kategori silent dinyatakan reliabel karena nilai cronbach alpha pada tabel reliability statistic adalah sebesar 0.750 dan syarat untuk reliabel adalah lebih dari 0.6.
12) Semua item pernyataan untuk kategori rejection dinyatakan reliabel karena nilai cronbach alpha pada tabel reliability statistic adalah sebesar 0.763 dan syarat untuk reliabel adalah lebih dari 0.6.
13) Semua item pernyataan untuk kategori advice dinyatakan reliabel karena nilai cronbach alpha pada tabel reliability statistic adalah sebesar 0.826 dan syarat untuk reliabel adalah lebih dari 0.6.
14) Semua item pernyataan untuk kategori confrontation dinyatakan reliabel karena nilai cronbach alpha pada tabel reliability statistic adalah sebesar 0.773 dan syarat untuk reliabel adalah lebih dari 0.6.
15) Semua item pernyataan untuk kategori summarization dinyatakan reliabel karena nilai cronbach alpha pada tabel reliability statistic adalah sebesar 0.789 dan syarat untuk reliabel adalah lebih dari 0.6.
16) Semua item pernyataan untuk kategori termination dinyatakan reliabel karena nilai cronbach alpha pada tabel reliability statistic adalah sebesar 0.806 dan syarat untuk reliabel adalah lebih dari 0.6.
c. Penghitungan Daya Beda Instrumen
Hasil penghitungan daya beda secara sederhana menyatakan bahwa dari 308 butir pernyataan yang diuji, 9 butir pernyataan memiliki tingkat daya beda yang sangat baik, 93 butir pernyataan memiliki tingkat diskriminasi atau daya beda yang baik, 122 butir pernyataan memiliki tingkat diskriminasi atau daya beda yang cukup baik, dan 83 butir pernyataan memiliki tingkat diskriminasi atau daya beda yang jelek.

Kajian Produk yang Telah Direvisi
Konseling dalam keseluruhan bimbingan dan konseling perkembangan, merupakan salah satu bagian dari layanan responsif, yang lagsung berkenaan dengan individu. Dikatakan demikian, karena pemberian bantuan melalui layanan konseling secara langsung bersentuhan dengan kebutuhan dan masalah individu, walaupun berlangsung dalam setting kelompok.
Sejalan dengan pemikiran tersebut di atas, sebagai salah satu proses pemberian bantuan yang bersifat profesional (helping professional), konseling hendaknya dilaksanakan oleh orang-orang yang terlatih di bidangnya, dan dilakukan berdasarkan teori. Salah satu teori yang melandasi konseling adalah teori tentang komunikasi, khususnya teknik dasar komunikasi dalam konseling.
Menurut Andriani (2009:4), teknik dasar komunikasi adalah teknik dasar yang dapat digunakan untuk membantu konselor dalam menggali perasaan-perasaan konseli baik dari tingkah laku verbal maupun non verbal sebagai usaha untuk memahami dirinya sendiri dan memahami perubahan yang terjadi di dalam kehidupannya.
Dari pengertian tersebut terkandung maksud bahwa teknik dasar komunikasi dalam konseling tidak hanya bersifat respon dan pengamatan verbal, namun juga bersifat non verbal. Teknik dasar komunikasi dalam konseling digunakan untuk membantu konseli, dengan melakukan pengamatan terhadap tingkah laku verbal maupun non verbalnya.
Teknik dasar komunikasi dalam konseling itu sendiri merupakan sejumlah teknik yang perlu digunakan konselor dalam keseluruhan proses konseling. Teknik-teknik ini dimaksudkan untuk menuntun konselor supaya bisa melaksanakan konseling sesuai dengan landasan teori yang ada, mencegah konselor untuk melakukan kesalahan-kesalahan dalam konseling, mencegah konseli menyalahartikan proses konseling, dan tujuan akhirnya adalah mencapai tujuan konseling itu sendiri. Pada akhirnya, keseluruhan dari proses konseling diharapkan bisa membantu konseli untuk bisa tumbuh menjadi pribadi yang dewasa dan mandiri dalam kehidupannya.
Teknik dasar komunikasi konseling dalam praktiknya akan membantu konselor untuk bisa menjalankan konseling secara profesional. Dengan menjalankan konseling secara profesional, maka tujuan konseling yang ditetapkan bersama konseli pun akan lebih mudah untuk dicapai. Teknik dasar komunikasi dalam konseling yang diterapkan dengan benar dapat mengurangi kesalahan-kesalahan yang mungkin akan dilakukan oleh konselor selama proses konseling.
Instrumen Evaluasi Diri Penguasaan Teknik Dasar Komunikasi dalam Konseling pada Mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Malang ini, adalah sebuah instrumen yang bertujuan untuk membantu mahasiswa memahami tingkat penguasaan teknik dasar komunikasi dalam konseling yang dimilikinya. Dengan demikian, mahasiswa mampu melakukan evaluasi diri sehubungan dengan tingkat penguasaan teknik dasar komunikasi konselingnya tersebut.
Instrumen ini mengukur tingkat penguasaan mahasiswa dalam 16 teknik dasar komunikasi dalam konseling yaitu, prakonseling, opening, acceptance, restatement, reflection of feeling, clarification, structuring, sharing of experience, lead, reassurance, silent, rejection, advice, confrontation, summarization, dan termination.
Instrumen evaluasi diri penguasaan teknik dasar komunikasi dalam konseling ini selain dapat digunakan untuk mengevaluasi kemampuan personal mahasiswa akan penguasaan teknik dasar komunikasi konselingnya, juga dapat digunakan oleh program studi bimbingan dan konseling sebagai instrumen utama untuk mengumpulkan data teknik dasar komunikasi konseling mahasiswa. Dengan demikian, bisa diketahui apakah matakuliah Keterampilan Dasar Komunikasi dalam konseling sudah diberikan dengan tepat ataukah sebaliknya.
Dengan adanya instrumen ini diharapkan mahasiswa lebih memahami teknik dasar komunikasi dalam konseling sebagai kunci pelaksanaan konseling. Dari sini, mahasiswa bisa mengevaluasi diri dan meningkatkan lagi tingkat penguasaan teknik dasar komunikasi konselingnya.
Jika para mahasiswa sudah mengetahui aspek apa saja yang perlu dilakukan untuk setiap teknik dasar komunikasi dalam konseling, seberapa tinggi tingkat penguasaan teknik dasar komunikasi konselingnya, dan apa saja yang perlu dilakukannya untuk meningkatkan penguasaan teknik dasar komunikasi konselingnya, maka masalah yang selama ini ditemukan di lapangan, yaitu proses konseling yang tanpa memperhatikan teknik dasar komunikasi dalam konseling, sedikit demi sedikit akan dapat menemukan jalan keluarnya.
Instrumen ini selain memiliki kegunaan seperti yang tersebut di atas juga memiliki kekurangan. Kekurangan tersebut antara lain adalah banyaknya item yang ada dalam instrumen, kemungkinan besar akan membuat mahasiswa sebagai subjek pengukuran merasa jenuh saat mengisi instrumen. Bisa jadi, konsentrasi mahasiswa juga banyak yang kabur saat mengisi instrumen. Merupakan hal yang wajar jika hal ini ditemukan di lapangan karena banyaknya item instrumen yang harus diisi oleh masing-masing mahasiswa.
Kejenuhan mahasiswa dalam mengisi instrumen evaluasi ini dapat disiasati dengan berbagai cara. Hal-hal yang bisa digunakan untuk meminimalisasi dan mengantisipasi kekurangan instrumen ini adalah dengan membagi pengisian instrumen menjadi tiga bagian atau lebih, sehingga mahasiswa tidak merasa terlalu jenuh dan terlalu lama mengisi instrumen. Hal lain yang bisa dilakukan adalah dengan mengadministrasikan bentuk tulisan instrumen sehingga lebih menarik bagi subjek terteliti.


Saran Pemanfaatan dan Pengembangan Produk Lebih Lanjut
1. Saran Pemanfaatan
Sebagai instrumen yang digunakan untuk mengukur tingkat penguasaan teknik dasar komunikasi dalam konseling, instrumen ini bisa dikembangkan pemanfaatannya sebagai berikut.
a. Pemanfaatan instrumen sebagai instrumen baku untuk mengumpulkan data tingkat penguasaan teknik dasar komunikasi dalam konseling pada mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Malang.
b. Pemanfaatan instrumen sebagai alat evaluasi bagi mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling yang akan diterjunkan Praktik Pengalaman Lapangan II (PPL II) di sekolah-sekolah. Instrumen ini bisa digunakan untuk mengukur teknik dasar komunikasi konseling mahasiswa, sekaligus sebagai bahan pembekalan setelah diketahui hasil penguasaan teknik dasar komunikasi konseling.
2. Saran Pengembangan Produk
Instrumen pengukuran tingkat penguasaan teknik dasar komunikasi dalam konseling ini masih dibuat dalam bentuk print out atau manual script. Print out seperti yang dihasilkan ini pada dasarnya memiliki kekurangan sehubungan dengan kemenarikan dan efisiensi. Banyaknya butir pernyataan dalam instrumen yang perlu diisi oleh mahasiswa bisa menyebabkan mahasiswa jenuh atau hilang konsentrasi.
Saran pengembangan produk untuk peneliti selanjutnya adalah bagaimana mengembangkan instrumen pengukuran tingkat penguasaan teknik dasar komunikasi dalam konseling semacam ini ke dalam bentuk software. Pengembangan dalam bentuk software memiliki kelebihan-kelebihan tertentu dibandingkan dengan pengembangan dalam bentuk print out.
Dengan dikembangkan dalam bentuk software, instrumen semacam ini akan memiliki kemenarikan tampilan, terdapat ilustrasi gambar dan suara yang tidak membuat mahasiswa menjadi bosan dan hilang konsentrasi. Pengembangan dalam bentuk software akan lebih mudah dalam menginterpretasi hasil pengukuran, sehingga mahasiswa akan mendapatkan balikan saat itu juga setelah mengisi instrumen.

Sabtu, 05 Februari 2011

PERSON CENTERED THERAPY (TERAPI BERPUSAT PRIBADI)


PEMBAHASAN
PERSON-CENTERED THERAPY (CARL ROGERS)

1.   BIOGRAFI : CARL ROGERS
Carl Ransom Rogers lahir pada tahun 1902. Dia adalah anak keempat dari enam bersaudara dan dia dibesarkan di sebuah peternakan di Illinois. Orangtuanya adalah penganut Kristen fundamentalis yang taat, yang kemudian Rogers menggambarkannya sebagai orang yang sangat suka mengekang. Ia menceritakan bagaimana orang tuanya mengajarkan agar ia menjaga jarak ketika sedang berinteraksi dengan orang asing
Dinamika keluarga Rogers nampaknya mendasari perubahan-perubahan sosial dan personalnya. Dalam berbagai hal, sebagai seorang ahli terapi, Rogers dituntut untuk menciptakan lingkungan terapi yang benar-benar ramah, terbuka, dan nyaman. Ia mencoba membantu kliennya merasakan sebuah pengalaman yang merupakan kutub yang berlawanan dengan apa yang dialaminya dengan orang tuanya.
Walaupun orang tuanya tidak peduli dengan intelektualitas, Roger tetap kuliah, mulanya mengikuti peraturan keluarga dengan mengambil jurusan pertanian. Ia juga tergabung dalam kelompok Asosiasi Pemuda Kristen dan menjadi salah satu dari dua belas mahasiswa yang terpilih untuk menghadiri Konferensi Federasi Mahasiswa Kristen Dunia di Peking, China.
Dalam perjalanan inilah, menurut Bankhart, “Rogers tampak seperti Rogers.” Ia pergi selama enam bulan. Bagaimanapun pengalaman ini membawa perubahan-perubahan pada diri Rogers :
1.      Dia menolak ideologi orangtuanya yang konservatif.
2.      Dia memutuskan untuk menikahi kekasih masa kecinya.
3.      Ia memutuskan untuk meraih gelar masternya di Seminari Teologi Negara Liberal di New York.
2.   MANUSIA, ASAS-ASAS KEMANUSIAAN, DAN TEORI KEPRIBADIAN
      Carl Rogers dengan aliran konseling humanistik memiliki pandangan dasar tentang manusia, yaitu bahwa pada dasarnya manusia itu adalah makhluk yang optimis, penuh harapan, aktif, bertanggung jawab, memiliki potensi kreatif, bebas (tidak terikat oleh belenggu masa lalu), berorientasi ke masa yang akan datang dan selalu berusaha untuk melakukan self fullfillment (memenuhi kebutuhan dirinya sendiri untuk bisa beraktualisasi diri).
Dengan pandangan dasarnya tentang manusia tersebut, Rogers membagi teori kepribadiannya ke dalam 4 bagian yang paling utama, yaitu :
      1.   Teori Diri (Self-Theory)
      Rogers dalam hal ini percaya bahwa pada hakikatnya manusia berada dalam sebuah dunia yang tidak pernah berubah di mana sesungguhnya, dialah yang menjadi pusat dari kesemuanya itu. Rogers percaya bahwa diri (self) bukan merupakan sebuah struktur yang tetap, tetapi merupakan struktur yang berada dalam suatu proses, memiliki kemampuan baik untuk keadaan yang stabil maupun perubahan. Diri (self) sendiri terbagi ke dalam alam sadar (conscious) dan alam tak sadar (unconscious).
      Rogers juga menyebut nama organisme, untuk semua pengalaman-pengalaman psikologis. Secara lebih jelasnya, organisme adalah medan fenomenal yang hanya dapat diketahui oleh individu itu sendiri. Pengalaman fenomenal itu sendiri terbagi menjadi dua, yaitu pengalaman sadar (dilambangkan) dan pengalaman tak sadar (tidak dilambangkan).
2.      Kejadian dan Pengalaman yang bernilai
      Person-centered therapy didasarkan pada kepercayaan bahwa diri memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah yang dihadapinya sendirian. Person-centered therapy mengutamakan pemahaman atas pengalaman-pengalaman pribadi yang dialami oleh individu. Merasakan pengalaman (memahami) merupakan cara yang akurat untuk memahami diri sendiri dan lingkungannya.
      3.   Potensi untuk tumbuh dan belajar
      Rogers percaya bahwa kecenderungan aktualisasi dan perkembangan diri melekat sangat kuat dalam diri setiap manusia. Pada dasarnya manusia memiliki kecenderungan untuk tumbuh dan berkembang sebagaimana mestinya sesuai dengan potensi-potensi yang dimilikinya. Hanya saja, yang terkadang menjadi masalah adalah orang-orang tersebut kurang paham mengenai kelebihan, kekurangan, dan potensi yang dimilikinya itu.
      4.   Kondisi-kondisi yang berharga
      Pada dasarnya, manusia memiliki kecenderungan untuk mengarahkan dan mempertinggi dirinya sendiri. Sehingga manusia merasa memerlukan dua hal utama, yaitu penghargaan positif dan penghargaan diri.
      Secara tidak langsung dapat disimpulkan bahwa person-centered therapy memandang individu itu ada dari kebermaknaannya pada diri sendiri, orang lain, serta lingkungan sekitarnya. Individu bisa dikatakan ada karena sumbangan yang diberikannya pada baik diri sendiri, orang lain, serta lingkungannya.

3.   PERKEMBANGAN PRIBADI
      Sebagaimana model-model konseling yang lain, person-centered therapy juga memiliki pandangan tersendiri mengenai perkembangan perilaku yang terjadi pada manusia. Menurut person-centered, manusia bisa berkembang ke dua arah, yakni mengarah menjadi pribadi yang sehat, dan pribadi yang tidak sehat.
      Meskipun organisme dan diri (self) memiliki tendensi untuk mengaktualisasikan diri, namun keduanya juga dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya. Rogers memusatkan perhatiannya pada cara penilaian orang-orang terhadap individu, khususnya selama masa kanak-kanak yang cenderung memisahkan pengalaman-pengalaman organisme dan diri.
      Sebagai pribadi yang sehat, artinya manusia bisa menyesuaikan dirinya dengan orang lain maupun lingkungan sekitarnya dengan baik, dan dapat melaksanakan tugas-tugas perkembangannya dengan baik pula.
      Sedangkan yang dimaksudkan dengan pribadi yang kurang sehat, ditandai dengan adanya ketidakseimbangan potensi-potensi yang dimiliki oleh individu yang seringkali disebut dengan istilah tidak kongruen (incongruence). Ada juga istilah yang menyebutkan sebagai pribadi yang tidak konsisten karena adanya ketidakseimbangan antara self dan organisme.
      Secara lebih jauh, menurut Rogers, pribadi yang tidak sehat dapat ditandai dengan adanya konsep diri yang tidak selaras dengan organisme. Seseorang berusaha menjadi apa yang diinginkan oleh orang lain, dan tidak berusaha menjadi apa yang diinginkannnya. Masalah individu yang tidak sehat ini dapat diatasi apabila individu yang bersangkutan bersedia untuk mengungkapkan perasaannya secara bebas dan berstruktur, sehingga individu tersebut telah mampu menyadari pengalaman-pengalamannya.

4.   KARAKTERISTIK KONSELING
a.   Karakteristik Dasar Konseling
      Konseling dengan pendekatan person-centered therapy, menekankan beberapa karakteristik utama, di antaranya adalah sebagai berikut :
·         Pada dasarnya, konseli yang ada dalam konseling memiliki daya potensi yang kreatif
·         Konseling dan terapi seharusnya hanya membantu konseli untuk menerima keunikan dirinya dibandingkan dengan orang lain serta memperoleh kepercayaan dirinya
·         Konseli dalam proses konseling merupakan tokoh pusat (central figure), sedangkan fungsi konselor hanyalah untuk membantu konseli mengakses kekuatan daya kreasi mereka, agar mereka bisa mengeluarkannya dan memanfaatkaanya secara lebih optimal
·         Konselor seharusnya dalam proses konseling tidak mencari-cari kesempatan untuk mendidik atau mengajar konseli
·         Konselor bekerja ketika konseli sudah sepenuhnya memahami dan mengalami apa yang terjadi di masa sekarang sesuai dengan pengaturan atau setting konseling
·         Konselor hendaknya menghormati konseli apa adanya
·         Konselor hendaknya mempercayai konseli sesungguhnya
b.   Prinsip Dasar Aplikasi Multikultural
      Sensitivitas serta pemberian penghargaan positif tanpa syarat kepada konseli yang memiliki masalah dan kepercayaan kebudayaan serta latar belakang mereka, membuat person-centered therapy menjadi salah satu model konseling yang cukup populer. Sehingga meskipun pertama kalinya digunakan di Amerika Serikat, namun person-centered therapy juga banyak dikenal di Jepang, Afrika Selatan, Amerika Selatan, dan beberapa Negara di Eropa serta Inggris.
      Penelitian menunjukkan bahwa orang-orang Afrika-Amerika, Amerika-Indian, Asia-Amerika dan Hispanik Amerika cenderung untuk memilih aktif, pendekatan direktif, serta orientasi nasihat di mana konselor lebih pasif, nondirektif, dan orientasi perasaan konselor.
      Menurut penelitian pula, siswa Asia-Amerika rata-rata aktif dan konselor yang menggunakan metode direktif lebih dapat dipercaya dibandingkan dengan konselor yang menggunakan metode nondirektif.
      Pada intinya, person-centered therapy bisa dilakukan secara tidak langsung dengan orang-orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda dengan kita. Sebagai contohnya, jika konselor terlalu menampilkan sikap kongruennya, maka para konseli akan lebih mudah untuk menyatakan pikiran dan perasaannya dengan lebih terbuka lagi.
      Tetapi Rogers juga menyatakan bahwa model konseling yang dimilikinya paling cocok jika digunakan di Amerika.

c.   Perkembangan Person-Centered Therapy
            Person-centered therapy mengalami beberapa fase perkembangan, yaitu :
1)      Konseling Nondirektif, dimulai pada tahun 1940an, dan ditumbuhkembangkan oleh Rogers sebagai metode terapi konseling tradisional
2)      Client-centered therapy, pada tahun 1950an. Ciri utamanya adalah mengubah pendekatan yang digunakan oleh Rogers, dari teknik pendekatan non direktif, menjadi menghormati kemampuan konseli untuk menjalankan proses konseling
3)      Person-centered therapy. Selama tahun 1960an, Rogers lebih menekankan konselingnya pada perkembangan diri, sehingga model konselingnya ia ubah menjadi model konseling person-centered therapy.

5.   KONDISI INTERVENSI
a.   Tujuan Konseling
      Tujuan utama pendekatan person-centered therapy adalah untuk menciptakan iklim yang kondusif sebagai usaha untuk membantu konseli menjadi pribadi yang utuh, yaitu pribadi yang mampu memahami kekurangan dan kelebihan dirinya dirinya. Tidak ditetapkan tujuan khusus dalam pemdekatan person-centered, sebab konselor digambarkan memiliki kepercayaan penuh pada konseli untuk menentukan tujuan-tujuan yang ingin dicapainya dari dirinya sendiri.
      Secara lebih terperinci, tujuan konseling person-centered adalah :
1)      Membantu konseli untuk menyadari kenyataan yang terjadi terhadap dirinya
2)      Membantu konseli untuk membuka diri terhadap pengalaman-pengalaman baru
3)      Menumbuhkan kepercayaan diri konseli
4)      Membantu konseli membuat keputusan sendiri
5)      Membantu konseli menyadari bahwa manusia tumbuh dalam suatu proses
b.   Keadaan Konselor
      Dalam konseling menggunakan metode person-centered therapy, yang harus ditunjukkan konselor pada konseli adalah tiga hal yang paling utama, yaitu :
1.      Unconditional Positive Regard (Penerimaan Positif tanpa Syarat/ Acceptance)
Unconditional positive regard adalah suatu keadaan yang sama dengan acceptance, menghormati serta menghargai. Meliputi penegasan pada nilai-nilai konseli sebagai bagian dari manusia atau organisme yang berpikir, merasa, percaya dan makhluk yang menyeluruh, diterima oleh konselor dalam kondisi apapun tanpa syarat tertentu. Person-centered therapy percaya jika konselor mampu menerima konseli apa adanya, maka konseli akan mulai berpikir mengenai siapa dirinya sebenarnya, dan apa yang sebenarnya dia inginkan. Dengan menunjukkan sikap acceptance seperti apapun konselinya, maka konselor mengajak konseli untuk mulai menerima dirinya sendiri.
2.      Empathy (Empati)
Empati adalah suatu keadaan di mana konselor berusaha untuk ikut merasakan apa yang konseli rasakan, ikut masuk ke dalam dunia konseli, ikut melihat dan mengalami apa yang dilihat dan dialami oleh konseli tetapi tidak ikut hanyut dalam dunia atau kerangka berpikir konseli tersebut.
Macam-macam empati :
a.       Empati intelektual, termasuk melihat dunia dari perspektif konseli dalam lingkup intelektual
b.      Empati emosi, terjadi ketika secara alamiah atau spontan, konselor mulai merasakan emosi dalam merespons dunia konseli dalam lingkup emosi
c.       Empati imajinasi, termasuk bertanya pada diri sendiri “Bagaimana jika saya berada pada posisi konseli saya?”
3.      Congruence (Kongruen/ Asli/ Genuine)
Kongruen didefinisikan sebagai ke otentikan atau keaslian dari diri konselor. Kongruen yang dilakukan oleh konselor adalah benar-benar suatu kenyataan, keterbukaan, dan kejujuran. Kongruen diartikan pula bahwa konselor mampu mengekspresikan kedua hal baik positif maupun negatif pada konseli.
c.   Keadaan Konseli
      Konseli yang bisa dibantu menggunakan person-centered therapy, di antaranya adalah konseli dengan kondisi awal sebagai berikut :
1.      Konseli takut pada konselor dan konseling itu sendiri
2.      Konseli tidak bisa mengekspresikan pengalaman-pengalamannya
3.      Konseli menggunakan pandangan orang lain atau lingkungan sekitarnya dalam mengevaluasi tindakan dirinya
4.      Konseli menunjukkan perasaan negatif baik secara terang-terangan maupun tersembunyi, misalkan tidak bisa mempercayai konselor
5.      Konseli belum bisa menerima tanggung jawab pada diri sendiri
6.      Konseli sering memandang dunia dengan suatu cara mekanik, sehingga menyulitkan diri untuk memisahkan objek dari pengalaman, fakta, daan situasi eksternal.
d.   Situasi Hubungan
      Menurut person-centered therapy, jika kita sebagai konselor bisa menyediakan tipe hubungan tertentu, maka orang lain akan dapat menggunakan hubungan itu untuk pertumbuhan dan perubahan, yang mengakibatkan pada terjadinya perkembangan pribadi.
      Dari sisi Rogers, dijelaskan pula bahwa hubungan antara konselor dan konseli dicirikan oleh adanya kedudukan yang sejajar dan kesamaan derajat antara konseli dan konselor.
      Beberapa poin yang bisa digunakan untuk menunjang perubahan kepribadian konseli dalam person-centered therapy adalah sebagai berikut :
1.      Ada dua orang dalam kontak psikologis
2.      Orang pertama disebut sebagai klien/ konseli yang berada pada tahap yang inkongruen, mudah dipengaruhi, dan cemas atau khawatir
3.      Orang kedua yang dinamakan konselor adalah orang yang kongruen dan terintegrasi dalam hubungan tersebut
4.      Konselor memberikan penghargaan positif tidak bersyarat pada konseli
5.      Konseli melakukan pemahaman empati sesuai dengan kerangkan berpikir konseli tanpa harus terhanyut dalam dunia konseli dan berusaha untuk mengkomunikasikan empatinya tersebut pada konseli
6.      Yang dikomunikasikan kepada konseli berupa empati maupun penghargaan positif tak bersyarat adalah komunikasi yang sesedikit mungkin bisa diterima oleh konseli

6.   MEKANISME PENGUBAHAN
a.   Prosedur yang Disarankan
      Person-centered therapy tradisional tidak bekerja dengan standar penilain atau prosedur diagnosa. Rogers menyatakan “Diagnosa Psikologis biasanya dimengerti sebagai sesuatu yang tidak wajib untuk psikoterapi dan mungkin jadi mengganggu proses terapi”. (Rogers, 1951, P.220).
      Tetapi dalam pertumbuhannya, kekurangan diagnosis yang potensial, menyebabkan person-centered therapy menggunakan prosedur diagnostik semata-mata untuk tujuan komunikasi yang professional. Sebagai contohnya, karena asuransi perusahaan memerlukan label diagnosa untuk pembayaran, maka konselor person-centered perlu melakukan prosedur diagnosa.
Person-centered therapy kontemporer kadang-kadang menggunakan prosedur penilaian. Goldmann dan Greenberg’s menjelaskan bahwa mereka menggunakan prosedur penilaian pada formulasi layanan idiografis, namun penilaian itu tidak ditunjukkan berdasarkan teori daripada kenyataan yang sebenarnya.
b.   Teknik-teknik yang dianjurkan
Teknik yang dianjurkan dalam person-centered therapy adalah syarat utama yang harus dimiliki oleh konselor, yaitu :
  1. Mengalami dan Memperlihatkan Kongruen
Kesesuaian, kecocokan, harmoni (kongruen) konselor menjadi bagian yang diimplikasikan pada konseling dan pada konselor (sommers Flanagan – Sommers Flanagan 2003).
Kongruen di sini berarti bahwa konselor membuka dirinya pada pengalaman yang bersifat emosi yang terjadi pada hubungan konseling. Kehangatan dan kesabaran saat konseli tertekan, kemarahan saat konseli menyerang dengan paksaan-paksaan yang kuat, kebosanan saat konseli mengomel, merupakan hal-hal yang menggambarkan konselor bertindak apa adanya.
Semakin baik konselor melakukan sikap kongruen, semakin besar pula kemungkinan konseling itu akan mencapai tujuannya.
  1. Mengalami dan Menunjukkan Penerimaan Positif tanpa Syarat
Semua orang membutuhkan penerimaan positif tanpa syarat dari orang lain. Banyak konselor terkadang mendapat masalah jika secara langsung menunjukkan penerimaan positif tanpa syarat kepada konseli, karena dua alasan.
Pertama, ekspresi penerimaan positif tanpa syarat yang berlebihan dapat membuat konseli senang berlebihan. Kedua, perkatan “Saya peduli denganmu” atau “Saya tidak mau menghakimimu”, mejadi pandangan yang terkesan palsu dan tidak realistik, khususnya jika konselor banyak membuang waktu dengan konseli.
Untuk itu, penerimaan/ penghargaan positif tanpa syarat harus dilakukan oleh konselor diimbangi dengan sikap kongruen, agar tidak terkesan mengada-ada atau dibuat-buat.


  1. Mengalami dan Menunjukkan Rasa Empati
·         Membuat konseli merasa nyaman atau “at home” dalam persepsi dunia privasinya
·         Peka terhadap pengertian emosi konseli dari satu moment ke moment yang lain
·         Menempatkan kehidupan orang lain sebagai masalah yang serius
·         Peka terhadap kedalaman makna, tetapi tidak larut dalam situasi konseling sehingga konselor tidak kehilangan kesadaran diri

7.   CONTOH KASUS KONSELING DENGAN MODEL PERSON-CENTERED
Contoh kasus di bawah ini berbentuk percakapan konseling antara Carl Rogers (CR) dengan seorang wanita muda yang diidentifikasikan sebagai PS.
   CR    :  Saya ingin Anda bersedia menceritakan segala sesuatu mengenai diri Anda dan keadaan Anda serta apa yang Anda rasakan mengenai diri maupun keadaan Anda. Atau apapun yang belum saya sebutkan di atas, namun ingin Anda ceritakan pada saya untuk membuat saya mengenal Anda dengan jauh lebih baik, saya akan merasa senang sekali. (Opening, dengan tujuan konselor ingin mendengar apapun yang dikatakan konseli untuk mendapatkan masalah inti konseli agar konselor bisa membantunya.
      PS     :  Dari mana Anda ingin saya mulai bercerita?
   CR    :  Dari manapun Anda mulai, saya pasti menyukainya (respons klasik dari konselor, merupakan komponen dasar dari person-centered therapy)
   PS     :  Baiklah, saya akan mulai dari masa kecil saya. Ketika saya masih menjadi gadis kecil, saya sudah mengalami mata juling sejak usia 7 tahun. Dan saya artikan masa kecil saya tidak menyenangkan. Tahun-tahun itu saya lalui dengan sangat lama hingga bertambahnya waktu. Saya tidak pernah punya pacar atau sejenisnya, saya kira saya pernah punya teman-teman perempuan, tapi setelah mereka pergi dengan anak laki-laki, saya rasa para anak laki-laki itu melarang mereka pergi denganku. Aktivitas saya lakukan tanpa teman-teman perempuan saya karena ternyata mereka lebih memilih untuk menghianati saya. Dan tidak ada anak perempuan seusia saya di lingkungan tetangga. Saya merasakan hal itu buruk, saya tidak bisa menemukan apa yang saya inginkan.
   CR    :  Jadi, kamu lebih memilih menyakiti dirimu dengan tidak memiliki teman, dan apakah saya benar bahwa Anda merasa letak penyebab dari hal ini adalah mata Anda?
   PS     :  Ya, kelihatannya mungkin demikian. Tapi di tahun terakhir saya di sekolah, saya memiliki seorang teman perempuan, tapi dia bukanlah seorang perempuan yang sangat baik, tapi saya kira ketika dia bersama saya, dia sangat baik. Dan suami saya melarang saya untuk pergi bersama perempuan itu karena dia tidak menyukainya.
   CR    :  Jadi, Anda merasa, dia adalah teman perempuan yang Anda sukai, meskipun dia tidak memiliki reputasi yang cukup bagus, dan suami Anda melarang Anda untuk bersosialisasi dengannya (Summary parafrase)
   PS     :  Ya, seperti diri saya. Saya memilih untuk tinggal di rumah sepanjang hari dengannya yang tidak menginginkan saya pergi dengan teman-teman, dan dia juga tidak ingin saya pergi sendirianke beberapa tempat. Saya pikir, dia ingin mengajak saya pergi pada suatu kesempatan. Saya ingin pergi dengannya. Lalu, jika kami pergi ke tempat dansa atau sejenisnya, dia berdansa dengan perempuan lain dan dia tidak pernah berdansa dengan saya.
   CR    :  Jika memang dia tidak memberikan perhatian pada Anda, Anda juga bisa melakukan hal yang sama.
   PS     :  Yah, apa yang baik untuk angsa yang jantan, tentu juga baik untuk angsa betina.
      CR    :  Hm…. Hm… (Silence)
   PS     :  Itulah apa yang selalu saya katakan, Dan sekarang kondisi rumah saya sepertinya kosong. Suami saya tidak ingin saya pergi ke beberapa tempat, begitu juga dengan Ibu saya. Saudara laki-laki saya tinggal satu atap di kamar bawah dengan Ibu saya. Dan saya tidak suka hal itu. Saya fikir, Ibu saya tidak menikah dengannya, dan sekarang dia berlagak seperti ayah bagi kedua saudara laki-laki saya, kami tinggal di tempat Ibu saya dan setelah saya menikah, dia mencoba untuk selalu memerintah saya.
   CR    :  Jadi, sesuatu yang tidak Anda sukai lainnya adalah Anda tidak menyukai Ibu Anda dan juga dia, karena dia berlagak seolah-olah sudah menikah dengan Ibu Anda.
      CR    :  Kelihatannya Anda marah dengan hal ini. (Reflection of Feeling)
   PS     :  Ya, benar. Saya bermaksud tidak peduli akan hal ini, saya pikir setiap orang pasti akan menentang apa yang dilakukan oleh Nenek saya.
      CR    :  Saya rasa, saya tidak mengetahui hal tersebut.
   PS     :  Baiklah. Nenek saya juga tidak menyukai hal yang dilakukan Ibu saya, hanya saja beliau tidak memiliki siapapun untuk diajak bercerita tentang hal itu.
   CR    :  Oke, jika demikian, bisa saya simpulkan bahwa Anda ingin mengatakan “Bukan hanya Anda yang merasakan kurang senang dengan Ibu Anda serta kondisinya saat ini.” (Clarification)
            Dalam sesi-sesi selanjutnya, konseli akan lebih terbuka pada konselor dengan perlakuan konselor yang seperti tersebut di atas, karena pada dasarnya, konseling digunakan untuk menumbuhkan kepercayaan diri konseli mengenai apa yang akan diceritakannya pada konselor untuk kemudian.

8.   KRITIK TERHADAP KONSELING PERSON-CENTERED THERAPY
a)      Pada satu sisi, konseling dengan pendekatan person-centered, memiliki nilai positif yaitu mempercayai konseli seutuhnya. Secara teoritis, jika seorang individu menerima hubungan yang khusus, Rogers mengatakan bahwa dia akan mengalami aktualisasi diri yang positif. Secara mendasar, ada dua masalah mengenai asumsi ini. Yang pertama, tidak mungkin bagi individu untuk memiliki lingkungan yang ideal setiap waktu, dan yang kedua dengan semua kebencian, prasangka, dan kejahatan sehari-hari, fakta-fakta tersebut tidak mendukung pernyataan Rogers.
b)      Rogers melihat konseli untuk 50 kali atau lebih dalam sesi konseling. Hal ini sangat tidak sesuai dengan keadaan ekonomi serta masyarakat yang modern. Bagaimana mungkin konseling dengan pendekatan person-centered memakan waktu sebegitu lama.
c)      Person-centered bisa menguntungkan bagi orang-orang yang bisa memanfaatkannya dengan baik, namun tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan person-centered



(disajikan dalam presentasi matakulian Konseling Individual Naning, dkk Februari 2009)